POLITIK - “Demokrasi adalah jalan kita bersama, ” ujar Hasto Kristiyanto dengan penuh semangat dalam berbagai kesempatan. Namun, benarkah Hasto seorang demokrat sejati? Mari kita telusuri satu peristiwa yang pernah mencoreng klaim itu, kasus Harun Masiku.
Pada Pemilu 2019, ada sebuah dapil yang menarik perhatian, khususnya Sumatra Selatan I. Nazaruddin Kiemas, yang merupakan calon kuat dari PDI-P, berhasil meraih kursi DPR dari dapil tersebut. Namun, takdir berkata lain. Sebelum resmi menduduki kursi itu, Nazaruddin wafat. Dalam sistem pemilu yang demokratis, kursi tersebut seharusnya dialihkan kepada calon dengan perolehan suara terbanyak berikutnya. Dan dalam hal ini, itu adalah Riezky Aprilia, seorang politisi perempuan muda yang berhasil meraih suara sebanyak 44.402 – jauh lebih besar dibandingkan perolehan Harun Masiku yang hanya 5.878 suara.
Baca juga:
Negara Sakit, Anies Hadir Membawa Perubahan
|
Namun, keanehan terjadi. Alih-alih mendukung Riezky yang jelas-jelas memenangkan mandat rakyat, nama Harun Masiku tiba-tiba muncul di tengah panggung politik. Harun, dengan jumlah suara yang sangat kecil, tiba-tiba menjadi sosok yang diupayakan oleh segelintir elite partai untuk menggantikan Nazaruddin Kiemas. Dan salah satu nama yang disebut-sebut berada di balik lobi ini adalah Hasto Kristiyanto.
Bayangkan, seseorang dengan suara nyaris nol koma dibandingkan Riezky justru didorong untuk menduduki kursi yang didasarkan pada mandat rakyat. Di sinilah demokrasi diuji. Apakah demokrasi hanya retorika atau benar-benar prinsip yang dijalankan?
Hasto, dalam berbagai pernyataan publik, selalu menekankan pentingnya menghormati suara rakyat. Tapi, apa yang terjadi di dapil ini menunjukkan ironi yang besar. Proses politik yang seharusnya bersih justru menjadi keruh karena adanya manuver-manuver yang mencederai kepercayaan publik. Kasus ini bahkan menjadi simbol bagaimana kekuasaan partai bisa dengan mudah menekan prinsip dasar demokrasi.
Riezky Aprilia, yang seharusnya mendapatkan haknya, menjadi korban dari sebuah sistem yang diwarnai oleh kepentingan politik elite. Apa yang dilakukan oleh Hasto dan pihak-pihak terkait menciptakan pertanyaan besar: Apakah demokrasi masih dihormati, atau hanya menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan segelintir orang?
Di tengah sorotan tajam terhadap kasus ini, Harun Masiku justru menghilang tanpa jejak setelah skandal ini mencuat. Hingga kini, keberadaan Harun masih menjadi misteri. Namun, bayang-bayang kasus ini terus menghantui, tidak hanya bagi PDI-P, tetapi juga bagi kredibilitas demokrasi kita.
Ketika Hasto berbicara lantang tentang demokrasi, publik bertanya: “Bagaimana dengan Riezky Aprilia?” Kasus ini adalah pengingat bahwa demokrasi tidak hanya soal kata-kata, tetapi juga tindakan nyata. Tanpa penghormatan terhadap suara rakyat, demokrasi hanyalah sekadar jargon tanpa makna.
Baca juga:
Tony Rosyid: PKB Masuk Koalisi KPP?
|
Jakarta, 26 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi